Beranda | Artikel
Makna Auliya Dari Sudut Pandang Fiqih (Bag. 2)
Kamis, 26 April 2018

Baca pembahasan sebelumnya Makna Auliya Dari Sudut Pandang Fiqih (Bag. 1)

Kaidah Ushul Fiqih yang digunakan dalam memahami kata Auliya

Secara spesifik, untuk menjelaskan maksud kata auliya dalam pandangan ushul fiqih, akan digunakan kaidah qiyas serta mafhum. Berikut penjelasan singkatnya

Qiyas secara bahasa berarti taqdir (membandingkan) dan musawah (penyamaan). Secara istilah, qiyas berarti penyamaan suatu cabang dengan pokok dalam suatu hukum karena adanya illah (sebab) yang menyatukan (mengumpulkan keduanya).

Lebih spesifik, qiyas dalam kasus ini yang akan digunakan sebagai alat adalah qiyas aula. Qiyas aula ialah menjadikan cabang dengan pokok dalam suatu hukum asal, dengan illah yang lebih kuat di dalamnya. Contohnya adalah meng-qiyas-kan hukum memukul orang tua terhadap hukum mengatakan “ah”. Memukul orang tua lebih terlarang (lebih haram) daripada mengatakan “ah”. Mengatakan “ah” dilarang dalam Al Qur’an surat Al Isra ayat 23. Memukul menjadi lebih terlarang karena lebih menyakitkan, yakni tidak hanya menyebabkan hati orang tua terluka, namun juga fisiknya, sehingga memukul memiliki dampak yang lebih besar daripada hanya mengatakan “ah”.

Mafhum, ialah makna tersirat dalam suatu lafaz. Dalam hal ini yang akan digunakan adalah kaidah mafhum muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafaz. Contohnya adalah haramnya mengatakan “ah” yang kemudian berlaku pula keharamannya dengan memukul orang tua sebagaimana disebutkan dalam pembahasan qiyas aula, maka wajib bagi kita untuk mengambil hukum (haram) tersebut bagi tindakan memukul sebagaimana harammnya mengatakan “ah” kepada orang tua.

Kata Auliya dalam pandangan Ushul Fiqih

Dalam hal ini, kita akan menentukan syarat-syarat qiyas yang harus dipenuhi pada kata Auliya. Kata Auliya bermakna wali / teman dekat secara bahasa, ini adalah ashl dari dalil, sementara itu illah-nya adalah pengaruh. Bahwasannya pengaruh seorang teman dekat adalah sangat besar kepada temannya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”.

(HR. Abu Daud no. 4833, Tirmidzi no. 2378, Ahmad 2/344, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ 3545).

Al Ghozali rahimahullah mengatakan, “Bersahabat dan bergaul dengan orang-orang yang pelit, akan mengakibatkan kita tertular pelitnya. Sedangkan bersahabat dengan orang yang zuhud, membuat kita juga ikut zuhud dalam masalah dunia. Karena memang asalnya seseorang akan mencontoh teman dekatnya.”[Tuhfah Al-Ahwadzi, 7: 94]

Dari hal tersebut disimpulkan bahwasannya teman dekat adalah memiliki pengaruh yang sangat besar, meskipun sifatnya tidak memaksa. Kemudian jika kita menggunakan kaidah qiyas aula, maka lebih-lebih lagi jika di-qiyas-kan kepada pemimpin. Karena pemimpin memberi pengaruh kepada masyarakat secara sistemik. Jika teman dekat mampu menjadikan kita orang yang berakhlak mulia, lebih-lebih lagi pemimpin, Karena pemimpin dapat membuat kebijakan-kebijakan yang wajib dijalankan masyarakat yang mengarah kepada peningkatan kualitas keimanan masyarakat. Dan pengaruh bukan sekedar untuk satu orang, namun hampir seluruh masyarakat yang ia pimpin. Sehingga larangan menjadikan yahudi dan nasrani sebagai auliya (teman dekat) yang disebutkan dalam surat Al Maidah Ayat 51 diqiyaskan dengan menjadikan mereka sebagai pemimpin.

Kemudian dalam kaidah mafhum, hukum yang tersirat pada kata auliya, juga ditetapkan kepada hal yang di-qiyas-kan kepadanya, hal ini biasa disebut mafhum muwafaqah. Sehingga hukum dilarangnya menjadikan yahudi dan nasranai sebagai teman dekat, tersirat pula hukum yang sama kepada qiyas dari teman dekat, dalam hal ini adalah pemimpin.

Dalil-dalil yang menunjukkan perintah supaya meninggalkan perbuatan (larangan) yang dilarang menunjukkan wajibnya meninggalkan perbuatan tersebut. Konsekuensi dari hal itu adalah haramnya melakukan yang diperintah untuk ditinggalkan .

Sehingga menjadikan yahudi dan nashrani sebagai teman adalah haram karena dilarang, dan menjadikan pemimpin dari yahudi dan nashrani adalah haram karena mafhum muwafaqoh dan di-qiyas-kan dari teman dekat
Bahwasannya yang paling penting untuk kita dahulukan sesungguhnya adalah Aqidah kita, kemudian logika melengkapi dan mendukung aqidah tersebut, inilah ajaran agama islam. Dan sungguh seluruh ajaran agama islam adalah kebenaran, sehingga pastilah logika atau akal sehat pasti bersesuaian dengan aqidah islam, sudah banyak sekali bukti bukti kebenaran aqidah islam seiring berjalanya waktu, berkembangnya zaman dan teknologi.

Wajib kita meyakini bahwasannya menjadikan yahudi dan nashrani sebagai teman dekat adalah dilarang, karena pasti Allah menetapkan suatu hukum melainkan berisi kebaikan bagi hambanya, dan pastilah keberkahan akan senantiasa mendampingi hamba Allah yang menaati perintahnya. Demikian pula syubhat yang menimpa dalam kasus pemilihan pemimpin yang merasuk kepada pemalingan makna kata auliya sesuai kebutuhan manusi, kini dapat secara lebih logis dijelaskan oleh ushul fiqih, bahwasannya keyakinan kita atas larangan menjadikan yahudi dan nashrani sebagai teman dekat yang banyak berpengaruh kepada kita adalah benar, dengan kaidah qiyas aula, lebih lebih lagi pemimpin yang memiliki pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat secara sistemik yang sungguh jauh lebih sulit dihindari dibanding pengaruh teman dekat secara meluas di tengah masyarakat.

Semoga Allah senantiasa memberikan kita hidayahnya agar tetap berada di atas jalan agama yang lurus.

 

Penulis: Yarabisa Yanuar

Artikel: Muslim.or.id

🔍 Ciri Ciri Imam Mahdi, Ibnu Taimiyah Bogor, Pemilu Dalam Islam, Makiah Dan Madaniah, Kitab Fadhail Amal


Artikel asli: https://muslim.or.id/39062-makna-auliya-dari-sudut-pandang-fiqih-bag-2.html